Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid (Bagian 47)
Senin, 19 Maret 2018

Bismillah.

Alhamdulillah pada kesempatan ini kita bisa berjumpa kembali untuk bersama-sama memetik faidah dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah.

Pada bagian sebelumnya, kita telah membawakan beberapa dalil yang disebutkan oleh penulis mengenai tafsir tauhid. Diantaranya adalah firman Allah (yang artinya), “Mereka itu; yaitu orang-orang yang diseru -selain Allah- justru mencari wasilah kepada Rabb mereka; siapakah diantara mereka yang lebih dekat -dengan Allah-.” (al-Israa’ : 57)

Hakikat tauhid itu adalah meninggalkan kebiasaan kaum musyrikin yaitu peribadatan kepada malaikat, nabi, wali, dan orang salih (lihat Ibthal at-Tandid, hlm. 48). Oleh sebab itu tidak diperbolehkan berdoa kepada orang-orang salih dan meminta syafa’at kepada mereka -yang sudah mati- dalam rangka menyampaikan permintaan kepada Allah untuk menghilangkan marabahaya atau memindahkannya karena perbuatan semacam ini -berdoa kepada selain Allah- adalah syirik akbar (lihar al-Mulakhosh fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hlm. 62)

Setelah itu penulis membawakan firman Allah (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian sembah, kecuali Dzat yang telah menciptakanku.” (az-Zukhruf : 26-27)

Ayat ini menunjukkan bahwa makna tauhid dan syahadat laa ilaha illallah adalah berlepas diri dari syirik dan mengesakan Allah dalam beribadah. Karena di dalam kalimat tauhid terkandung dua pilar; penolakan ibadah kepada selain Allah dan penetapan ibadah harus diberikan/dipersembahkan kepada Allah semata (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 63)

Kemudian penulis membawakan firman Allah (yang artinya), “Mereka (ahli kitab) menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb/sesembahan tandingan bagi Allah.” (at-Taubah ; 31)

Ayat ini menunjukkan bahwa bagian dari makna syahadat laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah dalam hal ketaatan yang berkaitan dengan penetapan hukum halal dan haram. Barangsiapa mengangkat seseorang selain Allah -tanpa izin dari Allah, pent- untuk menetapkan halal dan haram maka dia telah berbuat syirik (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 65)

Ketaatan merupakan bagian dari tauhid. Ketaatan juga merupakan salah satu bentuk ibadah. Apabila seorang taat/tunduk kepada selain Allah dalam hal penetapan hukum halal dan haram maka pada hakikatnya dia telah tunduk beribadah kepada orang tersebut (lihat at-Tamhid, hlm. 83)

Oleh sebab itu meskipun sedemikian tegas penekanan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk taat kepada ulil amri/ulama atau umara maka ketaatan kepada mereka bukanlah ketaatan yang mutlak, tetapi harus berada dalam koridor kebaikan atau dibenarkan oleh syari’at. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ketaatan itu berlaku hanya dalam perkara yang ma’ruf/dikenal baik oleh agama.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat al-Qaul al-Mufid, 1/96)

Kewajiban Menaati Ulil Amri

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu adalah yang terbaik untuk kalian dan paling bagus dampaknya.” (an-Nisaa’: 59)

Abu Hurairah radhiyallahu’anhu sebagaima diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dengan sanad sahih, beliau berkata, “Mereka -yaitu ulil amri- adalah para pemimpin/pemerintah.” Penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Maimun bin Mihran dan yang lainnya. Sedangkan Jabir bin Abdullah berkata bahwa mereka itu adalah para ulama dan pemilik keutamaan. Mujahid, Atha’, al-Hasan, dan Abul Aliyah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah para ulama. Mujahid juga mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah para sahabat. Pendapat yang dikuatkan oleh Imam asy-Syafi’i adalah pendapat pertama, yaitu maksud ulil amri adalah pemerintah (lihat Fath al-Bari [8/106]).

an-Nawawi rahimahullah membuat judul bab untuk hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengenai tafsir ayat ini dengan judul ‘Kewajiban taat kepada pemerintah selama bukan dalam kemaksiatan dan diharamkannya hal itu dalam perbuatan maksiat’. Kemudian beliau menukilkan ijma’/konsensus ulama tentang wajibnya hal itu (lihat Syarh Muslim [6/467]). Pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa kandungan ayat ini mencakup kedua kelompok tersebut; yaitu ulama maupun umara/pemerintah. Dikarenakan kedua penafsiran ini terbukti sahih dari para sahabat (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/235 dan 238])

Wajibnya menaati pemerintah muslim selama bukan maksiat. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau bersabda, “Wajib atasmu mendengar dan taat, dalam kondisi susah maupun mudah, dalam keadaan semangat ataupun dalam keadaan tidak menyenangkan, atau bahkan ketika mereka/penguasa lebih mengutamakan kepentingan mereka di atas kepentinganmu.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas setiap individu muslim untuk selalu mendengar dan patuh dalam apa yang dia sukai ataupun yang tidak disukainya, kecuali apabila dia diperintahkan (penguasa) untuk bermaksiat. Apabila dia diperintahkan melakukan maksiat tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Taat Kepada Penguasa Muslim

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menaatiku maka dia telah taat ikepada Allah. Dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dia telah durhaka kepada Allah. Barangsiapa yang menaati amirku maka dia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang mendurhakai amirku maka dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Thabrani bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah kalian telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menaatiku maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan termasuk dalam bentuk ketaatan kepada Allah ialah dengan menaatiku?” Maka para sahabat menjawab, “Benar, kami mempersaksikannya.” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya termasuk bentuk ketaatan kepadaku adalah kalian taat kepada para penguasa kalian.” dalam lafal yang lain berbunyi, “para pemimpin kalian.” Kemudian al-Hafizh berkata, “Di dalam hadits ini terkandung kewajiban untuk taat kepada para penguasa -kaum muslimin- selama itu bukan perintah untuk bermaksiat sebagaimana sudah diterangkan di depan dalam awal-awal Kitab al-Fitan. Hikmah yang tersimpan dalam perintah untuk taat kepada mereka adalah untuk memelihara kesatuan kalimat (stabilitas masyarakat, pent) karena terjadinya perpecahan akan menimbulkan kerusakan -tatanan masyarakat-.” (Fath al-Bari [13/131] cet. Dar al-Hadits)

Tidak Melakukan Pemberontakan

Kewajiban untuk mendengar dan taat kepada pemerintah muslim ini juga dibatasi selama tidak tampak dari mereka kekufuran yang nyata. Apabila mereka melakukan kekufuran yang nyata wajib untuk mengingkarinya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka. Adapun memberontak atau memeranginya -sezalim atau sefasik apapun mereka- maka tidak boleh selama dia masih muslim/tidak kafir (lihat Syarh Muslim [6/472-473], Fath al-Bari [13/11])

Dalilnya adalah hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Kecuali apabila kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki bukti kuat dari sisi Allah atas kesalahannya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan ‘kalian memiliki bukti kuat dari sisi Allah atas kesalahannya itu’ adalah adanya dalil tegas dari ayat atau hadits sahih yang tidak menerima ta’wil. Konsekuensinya, tidak boleh memberontak kepada mereka apabila perbuatan mereka itu masih mengandung kemungkinan ta’wil.” (Fath al-Bari [13/10]).

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “… kecuali apabila kaum muslimin telah melihat kekafiran yang nyata yang mereka memiliki bukti kuat dari sisi Allah tentangnya, maka tidak mengapa melakukan pemberontakan kepada penguasa ini untuk menyingkirkannya dengan syarat apabila mereka mempunyai kemampuan yang memadai. Adapun apabila mereka tidak memiliki kemampuan itu maka janganlah mereka memberontak. Atau apabila terjadi pemberontakan -diduga kuat- akan timbul kerusakan yang lebih dominan, maka mereka tidak boleh memberontak demi memelihara kemaslahatan masyarakat luas. Hal ini berdasarkan kaidah syari’at yang telah disepakati menyatakan bahwa; ‘tidak boleh menghilangkan keburukan dengan sesuatu yang -menimbulkan akibat- lebih buruk dari keburukan semula, akan tetapi wajib menolak keburukan itu dengan sesuatu yang benar-benar bisa menyingkirkannya atau -minimal- meringankannya.’…” (lihat al-Ma’lum Min Wajib al-‘Alaqah baina al-Hakim wa al-Mahkum, hlm. 9-10)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan bagi umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran yang dengan tindakan pengingkaran itu diharapkan tercapai suatu perkara ma’ruf/kebaikan yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya. Apabila suatu bentuk pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan perkara yang lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan rasul-Nya maka tidak boleh melakukan tindak pengingkaran terhadapnya, meskipun Allah dan rasul-Nya memang membencinya dan murka kepada pelakunya. Contohnya adalah mengingkari penguasa dan pemimpin dengan cara melakukan pemberontakan kepada mereka. Sesungguhnya hal itu merupakan sumber segala keburukan dan terjadinya fitnah hingga akhir masa. Barangsiapa yang memperhatikan musibah yang menimpa umat Islam berupa fitnah yang besar maupun yang kecil maka dia akan bisa melihat bahwasanya hal itu timbul akibat menyia-nyiakan prinsip ini dan karena ketidaksabaran dalam menghadapi kemungkaran sehingga orang pun nekat untuk menuntut dilenyapkannya hal itu, namun yang terjadi justru memunculkan musibah yang lebih besar daripada -kemungkaran- itu.” (I’lam al-Muwaqqi’in [3/4], dinukil dari ta’liq Syaikh Raslan dalam kitab al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 25)

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata : Kami -ahlus sunnah- tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan penguasa/pemerintah yang mengatur urusan-urusan kami. Meskipun mereka bertindak aniaya. Kami tidak mendoakan keburukan terhadap mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka. Kami memandang bahwa ketaatan kepada mereka adalah bagian dari ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla yang wajib hukumnya. Selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat. Kami mendoakan agar mereka selalu diberikan kebaikan dan keselamatan. (lihat Syarh ath-Thahawiyah, hlm. 379)

Oleh sebab itu Imam Ibnu Abil ‘Izz berpesan setelah membawakan ayat Allah (yang artinya), “Demikianlah akan Kami jadikan berkuasa sebagian orang yang zalim itu kepada sebagian yang lain disebabkan apa-apa yang mereka kerjakan.” (al-An’am : 129). Beliau berkata : Maka apabila rakyat menghendaki untuk terbebas dari kezaliman penguasa/pemerintah yang zalim hendaklah mereka meninggalkan kezaliman. (lihat Syarh ath-Thahawiyah, hlm. 381)

Sabar Menghadapi Kezaliman Penguasa

Wajib bersabar dalam menghadapi penguasa muslim yang zalim kepada rakyatnya. Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan sunnah namun bukan sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati laksana hati syaitan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Maka Hudzaifah pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?” Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu, walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun kalian mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka harus berlepas diri -dengan hatinya- dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang mengingkarinya -minimal dengan hatinya, pent- maka dia akan selamat. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka -para sahabat- bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?”. Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa semata-mata karena dia tinggal diam. Yang berdosa adalah apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan hati, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.” (Syarh Muslim [6/485])

Cara Menasihati Penguasa

Wajib bagi orang yang mampu -dari kalangan ulama atau yang lainnya- untuk menasehati penguasa muslim yang melakukan penyimpangan dari hukum Allah dan Rasul-Nya. Namun hal itu -menasehati penguasa- dilakukan tanpa menyebarluaskan aib-aib mereka di muka umum. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Iyadh bin bin Ghunm radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka janganlah dia menampak hal itu secara terang-terangan/di muka umum, akan tetapi hendaknya dia memegang tangannya seraya menyendiri bersamanya -lalu menasehatinya secara sembunyi-. Apabila dia menerima nasehatnya maka itulah -yang diharapkan-, dan apabila dia tidak mau maka sesungguhnya dia telah menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad sahih)

Dari Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah, dia berkata: Ada orang yang bertanya kepada Usamah radhiyallahu’anhu, “Mengapa kamu tidak bertemu dengan ‘Utsman untuk berbicara (memberikan nasehat) kepadanya?”. Beliau menjawab, “Apakah menurut kalian aku tidak berbicara kepadanya kecuali harus aku perdengarkan kepada kalian? Demi Allah! Sungguh aku telah berbicara empat mata antara aku dan dia saja. Karena aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu fitnah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ibnu ash-Sholah rahimahullah berkata, “Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka di dalamnya, mengingatkan mereka terhadap kebenaran, memberikan peringatan kepada mereka dengan lembut, menjauhi pemberontakan kepada mereka, mendoakan taufik bagi mereka, dan mendorong orang lain (masyarakat) untuk juga bersikap demikian.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hlm. 103)

Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka di dalamnya, memerintahkan mereka untuk menjalankan kebenaran, memberikan peringatan dan nasehat kepada mereka dengan lemah lembut dan halus, memberitahukan kepada mereka hal-hal yang mereka lalaikan, menyampaikan kepada mereka hak-hak kaum muslimin yang belum tersampaikan kepada mereka, tidak memberontak kepada mereka, dan menyatukan hati umat manusia (rakyat) supaya tetap mematuhi mereka.” (Syarh Muslim lil Nawawi [2/117], lihat penjelasan serupa oleh Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied dalam Syarh al-Arba’in, hlm. 33-34)  

Demikian sedikit catatan semoga bermanfaat.

 


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-47/